Pagi ini seperti biasa aku harus menuntut kewajibanku sebagai seorang
siswa. Sebenarnya hari ini aku malas sekali untuk sekolah, apalagi harus
bertemu dengan Farel setelah kejadian semalam aku jadi berpikir untuk
menjauhi Farel. Sebelum semuanya terlambat. Semalam aku dan Farel chat
seperti biasa. Awalnya dia sharing tentang masalah nilainya yang
akhir-akhir ini turun. Namun setelah itu dia mengalihkan topik
pembicaraan. Dia mulai bercerita tentang masalah hubungannya dengan Nisa
yang akhir-akhir ini memang kurang harmonis. Dan dia juga bilang bahwa
dia sudah gak mau lagi berhubungan sama Nisa.
“Yas, aku pengen putus sama Nisa”
“Loh kenapa?”
“Aku suka sama kamu Yas”
“Hah? Jangan bercanda”
“Aku serius Yas”
Setelah itu aku mengakhiri chatku dengan Farel. Pikiranku menjadi kacau. Apa benar dia suka sama aku?
Kenapa harus aku sih? Aku terus bertanya dalam hati. Aku
mengingat–ngingat kejadianku dengan Farel. Memang sudah 1 bulan ini
sikapnya menjadi berubah. Dia menjadi lebih perhatian sama aku. Seperti
ketika aku sakit dia yang menjagaku di ruang UKS sampai-sampai dia tak
mengikuti pelajaran. Lalu ketika aku benar-benar butuh laptop untuk
mengerjakan tugasku karena pada saat itu laptopku rusak, dia pada saat
itu yang meminjamkannya meskipun sebenarnya hari itu hujan sedang
deras-derasnya. Dan esok harinya dia tak sekolah karena sakit. Mengingat
kejadian-kejadian itu semakin memperkuat perkataan Farel. Lalu
bagaimana dengan Nisa?
“Yasmiiiiinnn” teriak seseorang yang berjilbab itu. Aku menoleh ke arahnya dan menghentikan langkahku.
“Iya Nis ada apa?” tanyaku padanya yang nafasnya terdengar ngos-ngosan itu.
“Sini, aku mau cerita” katanya sambil menarik tanganku dan membawaku ke
tempat yang agak sepi. Setelah sampai kami duduk di bawah pohon rindang.
“Yasmin” dia memulai pembicaraan. Dengan mimik muka yang terlihat sedih.
“Farel Yas, dia ahh..” kata-katanya terpotong bersamaan dengan air mata
yang mulai mengalir di pelupuk matanya. ‘ini ada apa? Apa Farel udah
ngasih tau semuanya? Apa Farel udah mutusin hubungannya sama Nisa?’
beribu pertanyaan kini memburu otak dan hatiku.
“Iya, Farel kenapa Nis” tanyaku penuh hati-hati. Aku tak mau menyinggung perasaanya yang tengah sedih.
“Gak tau Yas, dia berubah banget sama aku. Akhir akhir ini dia cuek
banget sama aku. Kayaknya dia punya yang baru deh Yas, aaah” Tangisnya
kembali pecah. Aku tercengang. Dan bagai peluru yang menyelup masuk
kehatiku, aku merasa bersalah pada Nisa.
“Hush, kamu jangan ngomong gitu Nis, siapa tau aja dia lagi sibuk” Aku coba menenangkannya.
“Tapi sakit Yas, didiemin terus. Aku tuh kaya obat nyamuk tau gak sama
dia, selalu gak di anggap. Kalo aku ngomong sama dia diacuhin. Sekalinya
ngejawab Cuma “Oh” “iya gitu” “wah” siapa yang engga sakit coba Yas”.
Ini jauh berbanding terbalik ketika Farel sedang berbicara padaku dan
aku mengacuhkannya. Pikiranku menerawang jauh. Sesaat aku terdiam.
“Yas, mau bantu gak? Kamu kan sahabat aku sama dia, boleh bantuin gak
bilangin ke dia kenapa dia ngejauhin aku. Plislah kamu kan baik”.
Melihat raut wajahnya yang begitu sedih aku pun tak menolaknya. Dan
mengiyakannya. Dia tampak senang, namun tak begitu denganku. Setelah
perbincangan itu, kami kembali ke kelas masing masing. Sembari menyusuri
koridor sekolah, aku memikirkan bagaimana caranya untuk mengungkapkan
semua ini pada Farel, sementara saat ini aku sedang mencoba menjauh dari
Farel. Aku tak mau hubunganku dengan Farel menjadi semakin dekat, dan
Farel benar-benar memutuskan hubungannya dengan Nisa.
Sesampainya di kelas Farel terlihat murung sambil memainkan ponselnya.
Dari sudut mataku ini, aku melihat dia tak begitu semangat seperti
biasanya. Tak ada binar keceriaan lagi di matanya. Apa aku penyebabnya?
Entalah. Aku menghela nafas sebentar dan merilekskan pikiranku yang
mulai benar-benar bingung. Aku coba menoleh ke arahnya namun sial.
Ternyata dia juga sedang memperhatikanku. Mata kita bertemu untuk
sepersekian detik. Aku coba memalingkan wajahku darinya dan coba
mengatur detak jantungku yang kian tak menentu.
Bel pulang pun berbunyi. Aku membereskan barang-barangku dan bergegas
untuk pulang. Rasanya seharian di kelas tanpa saling tegur sapa dan
diam-diaman itu, membuatku muak untuk terus berlama-lama berada di kelas
ini. Aku pun mulai melangkahkankakiku. Namun, pada langkah ketiga.
“Yasmin” bersamaan dengan itu aku merasa tangan ini seperti ada yang
menggenggam dan aku yakin itu Farel. Dengan tanpa menoleh ke arahnya aku
melepaskan genggaman tangan itu dengan kasar.
“Apa?” kataku singkat.
“Aku mau ngomong sama kamu” pintanya.
“Ngomong apa? Via sms bisa kan? Maaf kali ini aku gak bisa” ucapku sambil berlalu meninggalkannya.
“Yasmin, aku cinta sama kamu”. Deg langkahku terhenti. Jantungku kembali
terpacu. Untuk sesaat aku terdiam. Suara riuhan anak anak sekelas mulai
terdengar seperti backsound di film film.
“Aku cinta sama kamu Yasmin” Dia memperjelas perkataan tadi. Suara
riuhan pun semakin terdengar. Mukaku memerah seperti udang yang baru
saja di rebus.
“Terima, terima, terima” kata-kata itu yang membuat hatiku menjadi
bimbang. Aku tak menyangka Farel akan melakukan ini, karena yang aku
tahu untuk masalah ini dia begitu tertutup. Bahkan pada saat Farel dan
Nisa jadian, dia backstreet selama satu minggu sebelum akhirnya semua
orang mengetahuinya. Aku menoleh malas ke arahnya. Ada rasa senang juga
kesal. Aku kembali melanjutkan langkahku dan tak memperdulikannya dan
teman teman sekelasku. Namun saat aku mendekati pintu. Aku lihat sosok
Nisa yang tengah mengusap air matanya.
“Nisa” aku coba menghampirinya.
“Kamu jahat yas” katanya sembari pergi meninggalkanku.
“Nisa tungguuuu” aku coba mengejarnya namun, hasilnya nihil dia berlari
begitu cepat meskipun menggunakan jilbab. Ah sial. Ini yang aku takutin.
Nisa ngejauhin aku dan gak percaya lagi sama aku gerutuku. Dengan
langkah gontai, aku melanjutkan langkahku. Dan pada saat aku sampai di
parkiran. Tiba- tiba motor Farel berhenti di depanku. Cepat sekali dia
padahal tadi masih di kelas.
“Aku anterin yah, Yas” tawarnya
“Gak” kataku dengan nada malas dan meninggalkannya.
“Kamu kenapa sih Yas?” dia coba mengejarku. Aku hanya diam.
“Yas, kenapa?” aku masih tetap diam.
“Yas, apa gara gara tadi? Apa salah kalau aku punya perasaan yang lebih
sama Kamu?” Pertanyaan ini yang membuat langkahku terhenti.
“Salah Besar” jawabku dengan nada tinggi.
“Salahnya apa Yas? Bukankah ini hak setiap orang untuk punya perasaan ini?”.
“Banyaaak” dengan geram aku berlari dan meninggalkannya sendiri.
Sesampainya di rumah, aku langsung menuju kamarku. Aku merebahkan
badanku yang amat lelah ini. Hari ini aku benar-benar seperti pecundang.
Aku benci dengan sikapku yang satu ini. Aku meraih diaryku yang
terletak di atas meja belajar. Aku mulai meluapkan semua perasaan yang
aku alami hari ini.
‘Aku juga ngerti kok sama perasaan kamu Rel, aku juga sadar kalau aku
juga punya rasa yang sama kaya kamu. Tapi, kamu harus berpikir ulang
Rel, ada seseorang yang masih jadi milik kamu. Seseorang yang sayang
banget sama kamu. Rel, aku cuma gak mau jadi perusak dalam hubungan
kalian. Aku juga gak mau nyakitin perasaan Nisa yang udah bener-bener
sayang sama kamu. Kamu tau kan Rel, aku sama dia tuh deket banget. Bisa
di bilang kita sahabatan. Aku cuma gak mau dia ngejauhin aku dan
persahabatan ini jadi hancur. Aku tau Rel, kalo ini memang berat.
Memilih antara cinta dan sahabat. Tapi, aku tetep sayang sama kamu Rel,
meski gak ada kata ‘Pacaran’ dalam hubungan kita. Aku harap kamu ngerti
Rel.’
Ku tutup sahabat bisuku itu. Tanpa terasa bulir bulir air mata jatuh di
pelupuk mataku dan membajiri pipiku. Setetes demi setetes air itu
membasahi cover sahabatku itu. Aku menangis? Menangisi Farel dan
menyesali perasaan ini. Perasaan yang tak ku duga datangnya. Dari sebuah
chat yang biasa saja, menjadi chat yang luar biasa bagiku. Entah
kenapa, semakin kita sering chat aku merasa ada perasaan aneh yang
mengganjal di hatiku. Perasaan yang ku elak datangnya. Ah Farel… aku
coba menghapus air mata ini dan melirik handphone yang sudah berdering
sedari tadi. Banjir dengan misscall dan sms dari Farel.
“yas, lagi apa?” “yas, kenapa ga di bales?” “yas, marah?” “Yas, angkat
telponnya” mungkin itulah segelintir pesan yang Farel kirimkan.
Sebenarnya hati ini ingin sekali membalasnya mengatakan “aku lagi
dilema” namun tidak dengan jariku. Rasanya jariku enggan untuk mengetik
satu kata pun. Aku pun meletakannya kembali dan mengabaikan semua pesan
darinya. Hingga akhirnya aku terlelap.
Cahaya mentari mulai menyelinap di balik celah-celah gordengku. Aku pun
terbangun. Dan meraih ponselku. Ini memang kebiasaanku setiap bangun
tidur pasti barang mungil ini yang ku cari. Dan saat aku membukanya.
Banyak sms dari Farel. “Yas, kenapa ga di bales terus?” “Yassmiiinn”
“Masih marah gara gara yang tadi”. Ah aku bingung untuk membalas
pesannya yang mana dulu. Aku putuskan untuk tak membalasnya. Toh, itu
sms yang tadi malam. Namun tiba tiba, ada satu pesan masuk. Dari Nisa,
dengan penuh rasa penasaran aku pun membukanya.
Yas, mungkin kamu kanget kenapa aku sms sepagi ini. Aku cuma mau
ngucapin makasih yang sebesar besarnya karena selama ini kamu selalu
menjadi tempat curhat bagi aku, mungkin juga Farel. Tapi, Yas, aku gak
nyangka. Kalo kamu itu nusuk dari belakang. Kamu cinta Farel juga kan?
Jujur aja Yas, semua orang juga udah tau. Oke. Bukan maksud aku buat
ngancurin mood kamu pagi ini. Tapi, satu hal yang aku sesali dari kamu
Yas, kamu itu gak jujur.
Deg, seketika keringat dingin membasahi tubuhku. Rasa bersalah kini
menghantui perasaanku. Apa aku harus jujur pada Nisa jika aku memang
mencintai Farel? Atau aku tetap berpura pura dalam perasaan yang
menyesakkan dada ini? Ah entalah. Farel, ya Farel tokoh utama dari
sandiwara ini. Dengan cepat aku mengetik pesan singkat untuknya.
Rel, kita ketemu di taman kompleks sekarang, ada hal penting.
Tanpa menunggu balasan darinya aku pun melesat cepat menuju taman
kompleks dengan sepeda motorku ini. Akhirnya aku sampai di taman,
setelah menunggu beberapa detik sosok yang ku tunggu-tunggu pun datang.
“Udah lama nunggu, maaf yah” Ucapnya dengan senyum tipis. Lalu dia duduk disampingku.
“Ah, udahlah. Kamu putus sama Nisa kan Rel?” tanpa berpikir panjang aku pun melontarkan kata-kata itu. Dia terlihat kanget.
“Kok diam?”Lanjutku.
“Iya, memangnya salah Yas?” dia balik bertanya.
“Salah besar Rel” kataku dengan nada tinggi.
“Salah? Salah kenapa Yas, bukannya itu hak semua orang?” tanyanya dengan suara yang agak tinggi.
“Aku tahu itu hak semua orang. Tapi kamu tahu kan Rel, kalau aku sama
Nisa itu sahabatan. Harusnya kamu ngerti Rel, kenapa aku bisa semarah
ini sama kamu. Aku cuma gak mau nyakitin hati Nisa, dia terlalu baik
untuk disakitin. Rel, dia tuh bener-bener sayang sama kamu. Kamu tahu
Rel, setiap malem dia sms aku. Dia selalu nangis, gara gara siapa Rel?
Gara-gara kamu” Jelasku.
Farel hanya diam.
“Sekarang apa yang kamu mau Yas?” tanyanya dengan pasrah.
“Aku mau kamu balikan lagi sama Nisa, dan bilang kalau kejadian tempo hari itu cuma pura-pura”
“Itu susah Yas dan gak mungkin”
“Susah kenapa?” tanyaku dengan sinis
“Aku gak mau ngebohongin Nisa, Yas. Kamu emang bener kalau dia itu
bener-bener baik. Tapi kalau aku nurutin kata kamu dengan pura-pura
masih cinta sama Nisa bukannya itu malah bikin Nisa bener-bener sakit.
Aku gak mau jadi pecundang Yas” jelasnya. Aku jadi makin bingung.
Kata-kata Farel memang ada benarnya.
“Aku tahu kalian sahabatan. Aku juga tahu kalau Nisa sering cerita
masalah aku sama dia ke kamu. Aku juga tahu Yas, sebenernya kamu sakit”
“Sakit? Aku gak sakit Rel” ucapku memotong pembicaraannya.
“Lalu apa artinya tulisan itu Yas”
“Tulisan? Tulisan apa Rel?” tanyaku setengah bingung.
“Tulisan di diary kamu Yas. Aku tahu semuanya dari situ.” Aku pun
memandangnya dengan sinis. Mata Farel begitu sendu. Sebenarnya aku
merasa kasian pada farel tapi rasa kesal ini jauh lebih besar daripada
rasa kasian.
“Kamu baca diary aku?” tanyaku dengan nada tinggi.
“Maaf Yas, aku gak sengaja. Waktu itu…”
Aku mulai berlari sebelum Farel menyelesaikan kalimatnya. Aku tak
sanggup mendengar ucapan Farel lagi. Dan aku menyesali kecerobohanku
meletakkan benda yang menjadi privasiku ini di sembarang tempat. Kenapa
aku bisa seceroboh ini. Harusnya aku tak meletakkannya di sembarang
tempat. Dan kenapa Farel harus membacanya. Aah. Aku terus memaki diriku
sendiri atas kecerobohan ini.
Hari ini aku tak bersemangat untuk sekolah. Pikiranku masih tak mampu
untuk berpikir jernih. Dengan langkah gontai aku menuju ke kantin. Aku
tak mau ke kelas dan melihat muka Farel. Setibanya di kantin aku duduk
di deretan bangku ke tiga dan mulai menikmati secangkir susu hangat yang
mungkin dapat membuat moodku membaik. Namun, pandanganku tertuju pada
lelaki berambut cepak berhidung mancung itu. Ya, Farel. Sial kenapa dia
ada di sini gumamku. Dengan cepat aku pun mulai meninggalkan kantin dan
berjalan menuju kelas. Ketika aku sedang berjalan menuju kelas aku lihat
Nisa sedang duduk sendiri di depan kelasnya dengan mata yang kosong.
Aku coba menghampirinya. Tiba-tiba Nisa menoleh ke arahku aku pun
mengembangkan senyum padanya. Namun sayang, dia segera mengalihkan
pandangannya dan masuk ke kelasnya. Dengan cepat senyumku pun memudar.
Aku kembali melanjutkan langkahku. Sesampainya di kelas suasana begitu
gaduh.
“Eh, ada yang baru di tembak nih” ujar Deva ketika aku mulai duduk di bangkuku.
“Iya nih. Di terima gak yah? Haha” tambah Rizki di selingi tertawa. Semua anak kelas pun melirik ke arahku.
“Apa-apaan sih kalian. Kemarin itu cuma pura-pura” ucapku dengan nada
tinggi. Aku tak kuat lagi menahan rasa kesal ini. Mereka pun seketika
diam. Dan pada saat yang bersamaan Farel sudah memasuki kelas. Aku yang
menyadari keberadaannya ini kembali duduk.
“Beneran Rel yang hari sabtu itu cuma pura-pura?” Tanya Ryan teman
sebangku Farel. Aku dengan seksama mempertajam pendengaranku agar dapat
mendengar percakapan mereka berdua.
“Engga. Kemarin itu serius”. Deg. Jawaban Farel benar-benar membuat aku
semakin kesal. Kenapa dia harus bilang kalau kejadian hari sabtu itu
serius? Batinku.
Setelah kejadian itu hubungan aku, Farel dan Nisa semakin memburuk. Kami
tak pernah saling sapa lagi seperti dulu. Setiap aku bertemu dengan
Nisa dia selalu melempar pandangan yang penuh kebencian. Begitu pun
dengan Farel, aku tak mau melihat mukanya meskipun kami sekelas.
Sebenarnya aku ingin semuanya seperti dulu. Tapi rasanya tak mungkin.
Meskipun aku telah meminta maaf pada Nisa beberapa kali, namun dia tak
meresponnya. Akupun semakin bingung harus menjelaskannya bagaimana.
Hari ini aku merasa kepalaku begitu pusing, dan aku memutuskan untuk
pergi ke ruang UKS karena tak mungkin aku mengikuti pelajaran dengan
keadaan seperti ini. Ketika tiba di UKS aku melihat Nisa sedang
berbaring di kasur dengan selimut yang membalut tubuhnya. Aku pun
menghampirinya.
“Kamu kenapa Nis?” tanyaku. Nisa menoleh lalu membuang mukanya di balik
selimut itu. Aku tahu pasti Nisa merasa kesal dengan kehadiranku ini.
Aku pun membiarkannya. Karena jika dipikirkan kepalaku malah semakin
pusing. Akhirnya akupun membaringkan tubuhku di samping kasur yang di
tempati Nisa. Dan tak lama aku pun terlelap. Hampir 1 jam aku tertidur
dan ketika bangun aku mendengar ada suara tangisan di sampingku. Aku
yakin itu pasti Nisa.
“Kamu kenapa nangis Nis?”. dia menoleh ke arahku dan langsung memelukku. Tangisnya kembali pecah. Aku pun menjadi semakin heran.
“Maafin aku Yas” ucapnya dengan terisak.
“Maaf untuk apa?” tanyaku heran sembari melepaskan pelukannya itu.
“Aku harusnya gak ngejauhin kamu Yas. Dan aku juga gak berhak buat benci
sama kamu. Kamu itu benar-benar baik Yas. Dan tak seharusnya
persahabatan ini rusak gara-gara masalah ini. Aku udah tahu semuanya dan
Farel yang menceritakannya.” Jelasnya dengan sesekali menyusap air
matanya.
“Maksud kamu?”
“Iya Yas, aku tahu Farel sering cerita tentang masalahnya dengan ke
kamu. Begitupun sebaliknya. Dan Farel juga cerita kalau dia udah gak mau
ngelanjutin hubungannya sama aku. Dan dia udah mulai suka sama kamu
sejak 1 bulan yang lalu. Sebenarnya aku sangat marah ketika Farel
mengucapkan hal itu, tapi aku berpikir ulang, tak seharusnya aku
menghalangi dan tetap memaksa farel untuk tetap jadi pacar aku sementara
dihatinya sudah tak ada namaku lagi. Dan sekarang aku mulai sadar Yas,
aku harus merelakan Farel buat kamu”
Aku pun terdiam mendengarkan penjelasannya itu. Tanpa terasa aku
menangis, aku tak menyangka jika Nisa akan berbaik hati seperti ini
merelakan cintanya untuk sahabatnya.
“Kamu kenapa nangis Yasmin?” kini dia balik bertanya.
“Aku gak nyangka kamu bakalan sebaik dan setegar ini Nis” Nisa hanya tersenyum.
“Oh iya ada yang nungguin kamu bangun tuh dari tadi?” ujarnya tiba-tiba.
“Siapa?” tanyaku heran. Nisa menunjukan jari ke arah pintu ruang UKS.
Mataku pun tertuju pada lelaki berpostur tinggi itu. Dia Farel. Farel
menoleh ke arahku dengan senyum yang mengembang aku pun membalasnya.
Setelah kejadian itu aku dan Farel pun resmi menjadi sepasang kekasih.
Hubungan kami memang tak begitu romantis, tapi aku nyaman dengannya.
Nisa juga sepertinya sudah move on dari Farel, karena saat ini dia
sedang suka pada Eza, teman dekatnya semasa kecil.
Home
»
»Unlabelled
» cinta dan sahabat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar