PEMBANGUNAN jembatan gerak ini dimulai pada
bulan April 1962, setelah endapat persetujuan dari Presiden Soekarno. Biaya
pembangunannya diambil dari dana rampasan perang Jepang dalam kata lain Semua
di tanggung oleh pemerintah jepang dari kontraktor dan pekerja.
Pada awalnya, jembatan sepanjang 1.177 meter dengan lebar 22 meter ini, dinamai
Jembatan Bung Karno. Menurut sejarawan Djohan Hanafiah, pemberian nama tersebut
sebagai bentuk penghargaan kepada Presiden
RI pertama itu. Bung Karno secara
sungguh-sungguh memperjuangkan keinginan warga Palembang, untuk memiliki sebuah
jembatan di atas Sungai Musi
Peresmian pemakaian jembatan dilakukan pada tahun 1965 tepatnya pada tanggal 30
September 1965 Oleh Letjend Ahmad Yani ( sore hari Pak Yani Pulang dan subuh 1
Oktober 65 menjadi Korban Gestok), sekaligus mengukuhkan nama Bung Karno
sebagai nama jembatan. Akan tetapi, setelah terjadi pergolakan politik pada
tahun 1966, ketika gerakan anti-Soekarno sangat kuat, nama jembatan itu pun
diubah menjadi Jembatan Ampera. tetapi masyarakat palembang lebih suka memanggil jembatan ini
dengan sebutan “Proyek Musi”.
Bagian tengah Jembatan Ampera, ketika baru selesai dibangun, sepanjang 71,90
meter, dengan lebar 22 meter. Bagian jembatan yang berat keseluruhan 944 ton
itu dapat diangkat dengan kecepatan sekitar 10 meter per menit. Dua menara
pengangkatnya berdiri tegak setinggi 63 meter. Jarak antara dua menara ini 75
meter. Dua menara ini dilengkapi dengan dua bandul pemberat masing-masing
sekitar 500 ton.
Pada saat bagian tengah jembatan diangkat, kapal dengan ukuran lebar 60 meter
dan dengan tinggi maksimum 44,50 meter, bisa lewat mengarungi Sungai Musi. Bila
bagian tengah jembatan ini tidak diangkat, tinggi kapal maksimum yang bisa
lewat di bawah Jembatan Ampera hanya sembilan meter dari permukaan air sungai.
Sejak tahun 1970, Jembatan Ampera sudah tidak lagi dinaikturunkan. Alasannya,
waktu yang digunakan untuk mengangkat jembatan ini, yaitu sekitar 30 menit,
dianggap mengganggu arus lalu lintas antara Seberang Ulu dan Seberang Ilir, dua
daerah Kota Palembang yang dipisahkan oleh Sungai Musi.
Alasan lain karena sudah tidak ada kapal besar yang bisa berlayar di Sungai
Musi. Pendangkalan yang semakin parah menjadi penyebab Sungai Musi tidak bisa
dilayari kapal berukuran besar. Sampai sekarang, Sungai Musi memang terus
mengalami pendangkalan . Pada tahun 1990, dua bandul pemberat untuk menaikkan
dan menurunkan bagian tengah jembatan, yang masing-masing seberat 500 ton,
dibongkar dan diturunkan karena khawatir jika sewaktu-waktu benda itu jatuh dan
menimpa orang yang lewat di jembatan. “Bayangkan jika benda seberat itu menimpa
kepala kita,”
Jembatan Ampera pernah direnovasi pada tahun 1981, dengan menghabiskan dana
sekitar Rp 850 juta. Renovasi dilakukan setelah muncul kekhawatiran akan
ancaman kerusakan Jembatan Ampera bisa membuatnya ambruk.
Bersamaan dengan eforia reformasi tahun 1997, beberapa onderdil jembatan ini
diketahui dipreteli pencuri. Pencurian dilakukan dengan memanjat menara
jembatan, dan memotong beberapa onderdil jembatan yang sudah tidak berfungsi.
Warna jembatan pun sudah mengalami 3 kali perubahan dari awal berdiri berwarna
abu-abu terus tahun 1992 di ganti kuning dan terakhir di tahun 2002 menjadi
merah sampai sekarang.
Saat ini, berkembang wacana tentang pentingnya pembangunan Jembatan Musi III
dan Musi IV, yang menghubungkan antara Seberang Ilir dan Seberang Ulu
Palembang. Pembangunan dua jembatan dimaksudkan agar Jembatan Ampera tidak
kelebihan beban kendaraan yang melintas, sekaligus untuk lebih membuka kawasan
Seberang Ulu.
Harapan sebagian warga Palembang
yang ingin melihat Jembatan Ampera seperti dulu, agaknya sulit terwujud. Tetapi
menurut riset terakhir pemerintah Jepang Jembatan Ampera masih tetap kokoh
sampai 50 tahun lagi. dan akan segera di lakukan renovasi ulang oleh kontraktor
Jepang , tetapi dengan catatan Jembatan harus di tutup selama 2 Tahun
Home
»
»Unlabelled
» Sejarah Jembatan Ampera
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar